Selasa, 02 Oktober 2018

Puisi Bunga dan Tembok -Wiji Thukul

BUNGA DAN TEMBOK

seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!

Tentu, sama seperti puisi-puisi terdahulunya, suara lantang dan penuh keberanian masih terlihat jelas di puisi ini. Puisi yang dibuat pada tahun 1987-1988 ini adalah sebuah potret menarik tentang pandangan seorang Thukul terhadap pembangunan yang digalakkan pemerintah.
Puisi ini mengibaratkan rakyat kecil sebagai bunga, yang tumbuh tanpa diharapkan oleh para pemilik rumah. Bunga yang dicabut dan disingkirkan dari tanahnya sendiri. Di lain pihak, puisi ini mengibaratkan sang penguasa sebagai tembok, yang menggusur bunga dari tanahnya sendiri.
Sebuah kisah pilu.
Namun, di akhir sajaknya, Thukul memberikan semangat untuk pembaca, bahwa si bunga yang tercabut itu, tetap menebarkan benihnya. Benih semangat yang akan terus bergelora di masa depan kelak, merongrong keangkuhan tembok penguasa.
Sebuah puisi yang pada kenyataannya terbukti benar sekarang. Semangat Wiji Thukul bersama 12 aktivis lainnya yang hilang secara misterius di tahun 1997-1998, terus menyala hingga orde baru berakhir. Jatuh di tangan rakyat.
Mungkin, puisi bunga dan tembok karangan Wiji Thukul ini adalah sebuah tonggak perjuangan masyarakat masa kini. Mungkin kita tidak mengalaminya secara langsung, namun membacanya di masa ini, akan menjadi sebuah mesin waktu yang ampuh, untuk membawa kita kepada suasana perjuangan itu. Perlawanan itu. Peristiwa penuh darah itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar